Kamis, 30 Agustus 2007

RESTO INDONESIA DI HAMBURG



Oleh Irmanto

Hamburg, 1/7/2006 - Tidak seperti di Berlin, ibukota Republik Jerman, di Hamburg sangat sulit menemukan restoran khusus yang menyajikan masakan Indonesia.

Hanya ada satu restoran Indonesia di kota berpenduduk 1,8 juta jiwa itu. “Sudah cuma satu, pakai nama Cina lagi,” kata seorang mahasiswa Indonesia di kota tersebut.

Restoran yang bernama Fong Hee itu boleh dibilang terletak agak ke pinggir kota Hamburg, tepatnya di jalan Bramfelder Dorfplatz..

“Sebelum di sini, saya buka restoran di pusat kota Hamburg. Setelah restoran di sana saya jual, saya pindah ke sini,” kata Suri Muhamad, pemilik restoran tersebut..

Lelaki kelahiran Madura itu pertama kali datang ke Jerman pada tahun 1960. “Pada mulanya saya ke sini untuk kuliah setelah tamat STM di Surabaya ,” katanya yang menikahi gadis Jerman, kemudian bercerai setelah punya anak pada tahun 1966.

Waktu di Hamburg kota, dia menggunakan nama Restoran Surabaya. Restoran yang didirkannya tahun 1975 itu bertahan hingga 1982 Wakti itu mantan presdien BJ Habibie, ketika masih kuliah di Hamburg, suka mampir ke restoran tersebut.

“Restoran Surabaya itu kemudian saya jual saya untuk biaya pengobatan saya. Waktu itu saya mengalami sakit kelelahan selama selama enam bulan,” katanya.

Pada 1982 dia mendirikan restoran yangdinamakan Foong Hee, yang artinya terus hidup dan berkembang.

Pada mulanya ada tiga, tapi sekarang hanya tinggal satu. “Ya, hanya tinggal satu di sini saja,” kata lelaki kelahiran 1931 itu dan menambahkan bahwa dua restoran lagi dia jual karena repot mengontrolnya..

Omsetnya setiap hari sekitar 500 euro dengan modal membeli bahan baku setiap sehari sekitar 200 euro.

Restoran yang luasnya 300 meter persegi dengan luas tanah 500 meter persegi ini dapat menampung sekitar 80 pengunjung.

Selain masakan Indonesia, dia juga menyajikan masakan China. “Di sini ada sekitar 250 jenis makanan. Mulai dari bakso, nasi goerng, gado-gado hingga….,” kata pria yang dua bulan lagi berumur 75 tahun itu.

Pelanggan restorannya selain orang Indoensia yang tinggal di Hamburg, termasuk karyawan di Konsulat Jenderal RI, jug orang- Jerman dan non-Jerman.

“Umumnya orang Jerman yang ke sini adalah orang yang senang rasa pedas,” ucapnya.
Ditanya berapa pelayannya, ia mengatakan hanya dua orang. “Saya sendiri dan istri saya,” katanya menikah lagi dengan orang Indoenesia asal Yogyakarta pada tahun 1979 dan menghasilkan dua anak.

Tidak ada kerepotan saat melayani tamu saat jam makan. “Kalau sudah pengalaman, sangat gampang melayani tamu. Kalau lagi ramai kita sungguhan dulu minuman, sup pembuka makan dan seterusnya sehingga mereka tidak merasa menunggu terlalu lama,” katanya.

Restoran itu didirikannya tahun 1991. “Modalnya sekitar 500.000 Mark waktu itu. Sebagian dari modal itu saya pinjam dari bank,” katanya yang mengakui setiap bulan kini mencicil 2200 euro.

Ia mengaku meninggalkan Indonesia dengan cara nekad. Dia sengaja kabur dari rumah dan bilangke ibunya waku itu akan pergi ke Australia, sebab kalau bilang ke Jerman atau Belanda dilarang oleh orangtuanya. Beberapa kakaknya sudah merantau ke negara Eropa pada waktu itu.

Dari Austarlia dia pergi ke Amerika Serikat dan kemudian hengkang ke Belanda. Di Belanda dia tingggal sementara bersama kakaknya.

“Tapi saya tidak mau lama-lama tinggal sama saudara. Saya tidak mau merepotkan mereka. Kemudian saya pundah ke sini ke Jerman,” katanya.

Tahun 1960, dia amencoba kuliah jurusan bahasa di salah satu universitas di Hamburg, tapi tidak sampai tamat. “Untuk bisa hidup murah waktu itu, saya sengaja kerja di rumah makan,” katanya.

Kerja di rumah makan, menurut dia, sangat menyenangkan, karena setiap hari makan gratis, dan setiap bulan dapat gaji. “Saya bisa menabung dari gaji saya itu,” katanya.

Pada tahun 1961 dia buka usaha bar, mengingat orang Jerman suka sekali minum. Tahun 1962 dia menikahi wanita Jerman. “Tahun 1966 saya cerai setelah dapat tiga anak. Ketiga anak itu menjadi tanggung jawab saya, “ ucapnya.

Pada tahun 1975 di amembuka restoran Surabaya. Ketika itu mantan pressiden BJ Habibie – ketika itu masih mahasiswa – suka makan di restorannya.

“Saya senang melihat Habibie, saya bilang kepada dia bahwa anda akan menjadi orang hebat,” katanya dan kelak terbukti.

Dia mengaku sering membantu beberapa orang dekatnya, orang sekampung. Mereka suka pinjam uang dengan alasan untuk modal usaha. “Tapi umumnya usaha mereka gagal, dan uang saya tidak dikembalikan Ha….haaa...,” katanya.

Akhirnya pola bantuan diubah. “Saya modali orang-orang di kampung saya untuk mengelola angkutan umum. Tapi juga tidak berhasil. Saya tidak tahu, bagaimana cara mereka megnelola usaha,” katanya.

Kini dia bersama saudara-saudaranya di Madura mendirkan supermarket sehingga mampu menampung banyak tenaga kerja. “Usaha ini berjalan baik, dan saya senang karena bisa mempekerjakan banyak orang,” katanya. ***

Tidak ada komentar: