Kamis, 30 Agustus 2007

"PUISI BOLA" DI POSTDAMER PLATZ


Oleh Irmanto

Berlin, 8/7/2006 - Kalau 20 tahun lalu anda pernah ke Berlin, dan kini kembali lagi ke kota yang sekarang menjadi Ibukota Jerman itu, mungkin anda tidak percaya di Postdamer Platz telah berdiri gedung perkantoran dan pusat bisnis modern.

“Daerah ini dulunya merupakan tanah kosong. Tanah ini berada di tengah-tengah antara Jerman Barat dan Jerman Timur,” kata Rio Budi Rahmanto, konsuler bidang penerangan di Kedutaan Besar RI di Berlin, Jumat (7/7/2006) malam, saat memasuki kawasan tersebut.

Udara malam yang dingin perlahan menyusupi pori-pori kulit saat melangkahkan kaki ke dalam kawasan yang arsitekturnya benar-benar asli abad 21 itu, kontras dengan daerah Brudenburg Tor, yang masih banyak terdapat bangunan kuno abad 17 dan 18.

Setelah Tembok Berlin dirubuhkan pada November 1989 dan tahun berikutnya terjadi penyatuan Jerman, sebuh perusahaan elektronik Jepang Sony “nekad” mendirikan gedung Sony Center di kawasan itu.

Di atas gedung itu terdapat semacam “kubah” kaca mirip gunung Fujiyama. Bila malam, warna lampu kubah itu berubah-ubah antara lain biru dan ungu. Di lantai dasar gedung perkantoran -- sekitar tujuh gedung -- yang diwadahi kubah itu terdapat kafe dan restoran.

Sejumlah meja dan kursi tertata rapi siap menyambut mereka yang ingin melepaskan ketegangan setelah seharian bekerja atau hanya sekadar untuk berleha-leha menunggu kantuk tiba.

Selain meja dan kursi, di kawasan yang mengesankan Berlin sebagai kota modern itu juga terdapat semacam panggung dan tirbun terbuka berkapasitas sekitar 500 tempat duduk.

Di atas panggung itu tergantung bola besar yang diapit empat televisi berlayar lebar. “Selama Piala Dunia ini, tempat ini dijadikan salah satu studio terbuka oleh televisi ZDF,” kata Rio.
Pantas, di dinding kaca dan di atas tribun terbuka tertera tulisan “Das Runde Muss In Das Eckige! (Bola harus masuk ke gawang!).

Stasiun televisi ZDF -- yang acaranya diperuntukkan bagi mereka yang tidak berlangganan televisi kabel -- pada saat pertandingan Piala Dunia 2006 menjadikan panggung itu sebagai studio untuk memberikan komentar menjelang hingga sesudah pertandingan.

Di panggung itu mereka mengulas kekuatan dan kelemahan tim yang tengah bertanding. Panelisnya terdiri atas pengamat sepakbola, artis, hingga orang biasa.

Kawasan ini juga sekaligus dijadikan ajang nonton bareng bersama dalam jumlah terbatas. Untuk bisa duduk di tribun terbuka itu tidak dipungut bayaran, tapi orang harus bersicepat datang kalau tidak mau hanya cukup puas dengan berdiri-diri saja.

Mereka yang datang lebih awal akan mendapatkan termpat di tribun terbuka itu, atau paling tidak di kursi-kursi yang disediakan oleh pemilik kafe dan restoran itu, dengan risiko minimal pesan minuman -- kecuali kalau tidak punya malu.

Sejumlah kafe seperti Le Camptair, Josty, Brauhaus, dan Lindern Brau memang meletakkan kursi dan meja di depan kafe mereka.
Tapi tidak setiap pertandingan, tempat ini dijadikan studio terbuka oleh ZDF, karena mereka juga menggunakan panggung di tribun terbuka di Brudenburg Tor sebagai studio terbuka untuk “mencaci maki” pertandingan.

Kalau tidak ada pertandingan Piala Dunia bukan berarti kawasan Sony Center itu sepi. Setiap hari ratusan eksekutif muda dan diplomat muda menghabiskan malamnya di sini.

Jumat malam itu sejumlah pria berbusana jas dan sejumlah wanita menggunakan blazer tampak menikmati makanan dan minuman. Harga makanan dan minuman tidak begitu mahal menurut ukuran orang Berlin.

Kalau anda hanya minum kopi cappuccino bersama dua teman, anda hanya cukup merogoh uang kertas 10 euro, dan pelayannya akan mengembalikan dua setengah euro kepada anda.
Pada waktu-waktu tertentu di kawasan Postdamer Platz -- yang orang masih bisa melihat sisa-sisa Tembok Berlin (selebar satu meter yang sengaja dijadikan monumen) – itu diadakan pergelaran musik dan seni.

Sejumlah penyair terkenal pernah membaca puisi di tempat yang dikelilingi gedung perkantoran itu. Mereka antara lain Derek Walcott, Adonis, Friederike Mayrocker, dan juga penyair Indonesia Rendra dan Dorothea Rosa Herliany.

Festival puisi yang mendapatkan dukungan dana dari Daimler-Chrysler (produsen Mercedez-Benz) itu hanya mengundang sepuluh penyair dari 10 negara. Gilanya, sudah datang jauh-jauh, mereka hanya dipersilakan membaca puisi selama 15 menit.

Kegiatan kesenian itu pula yang melengkapi julukan kawasan itu sebagai tempat bisnis sekaligus ajang festival puisi tahunan.

Malam itu dan malam-malam selama Piala Dunia 2006 memang tidak ada pembacaan puisi di kawasan itu, tapi orang menikmati “puisi bola” yang bergulir di televisi berlayar lebar itu. ***

Tidak ada komentar: