Kamis, 30 Agustus 2007

MENENGOK KOTA BURUH GELSENKIRCHEN

Oleh Irmanto

Gelsenkirchen, 16/6/2006 - Tidak banyak orang yang pernah mendengar nama Gelsenkirchen, tapi banyak yang tahu apa itu Schalke 04, khususnya bagi penggila bola.

Gelsenkirchen adalah kota kecil di Jerman yang terletak di tepi sungai Rhein. Di kota inilah klub liga Jerman (Bundesliga) Schalke 04 bermarkas, sekaligus kini menjadi salah satu kota penyelenggara pertandingan Piala Dunia 2006..

Kota ni dijejali dengan puluhan pabrik, sehingga tidak heran dijuluki kota buruh. Pencinta klub Schalke 04 mau tidak mau banyak berlatar belakang buruh. Jika dulu Schalke 04 merupakan pengikat solidaritas kaum pekerja, kini bagi warga kota Gelsenkirchen, klub tersebut melambangkan kecintaan mereka terhadap sepakbola.

Kota yang terletak di bagian utara daerah Ruhr ini didirikan pada tahun 1150. Kota ini pada mulanya hanya lah sebuah kampung kecil. Hingga pada abad 19, ketika berbagai industri menjalar ke pelosok Eropa, Gelsenkirchen menjadi kota industri.

Tahun 1840 di daerah itu ditemukan batubara, yang dikenal sebagai “Black Gold”, dan tujuh tahun berikutnya pekerjaan pembangunan konstruksi infrastruktur rel kereta api dimulai. Pembangunan rel kereta api menghubungkan Gelsenkirchen, Cologne dan Minden.

Penemuan batubara itu menarik perhatian dan minat orang untuk hijrah ke kota tersebut. Akibatnya, jumlah penduduk yang sebelumnya hanya enam ribu jiwa melonjak menjadi 138 ribu pada tahun 1903. Konsekuensi dari pertambahan jumlah penduduk itu, Gelsenkirchen berubah menjadi kota pada 1875.

Hingga Perang Dunia I meletus, jumlah orang yang datang ke kota itu terus berlangsung untuk mendapatkan pekerjaan. Mereka umumnya berasal dari sebelah timur kerajaan Jerman (timur dan barat Prusia, Posen, dan Silesia).

Selama bertahun-tahun berlangsungnya pembangunan kembali setelah Perang Dunia II, ribuan pencari kerja berdatangan dari selatan Eropa dan Turki. Mereka mencari pekerjaan di penambangan batubara dan industri baja.

Gelsenkirchen terus bertumbuh menjadi kota industri yang besar dengan jumlah penduduk hampir mencapi 400.000, dan sekaligus menjadi kota tambang barubara terpenting di benua Eropa.

Banyaknya penambangan batubara dan industri baja melahirkan julukan bagi Gelsenkirchen sebagai “The city of a thousand fires” (Kota Ribuan Kebakaran). Maklum kepulan asap yang dihasilkan dari pabrik baja itu menghiasi langit kota itu.

Krisis batubara yang terjadi tahun 1950-an, mau tidak mau melahirkan perubahan. Industri dan alat transportasi yang semula menggunakan bahan bakar batubara berganti ke bahan bakar minyak.

April 2000, pertambangan terakhir di Gelsenkirchen ditutup, karena dinilai mengotori udara.. Tiga ribu penambang batubara kehilangan pekerjaan.

Kini Gelsenkirchen hanya berpenduduk 275.000 jiwa. Kota ini memiliki panorama indah dengan dihiasi gedung-gedung bersejarah. Bangunan tua itu antara lain gedung Schloss Horst dan Istana Luetinghof yang didirikan tahun 1308. Lueting dalam bahasa Jerman artinya malam, sedangkan hof artinya mempersilakan.

Gelsenkirchen yang kurang dikenal itu kini mulai populer karena di kota ini digelar lima pertandingan Piala Dunia 2006. Untuk menyambut Piala Dunia, pemerintah kota Gelsenkirchen telah merogoh sekitar 55 juta euro (sekitar Rp600 miliar) untuk perbaikan berbagai macam infrastruktur.

Pertandingan pembuka di kota itu menampilkan Polandia melawan Ekuador, yang sudah berlangsung 9 Juni dengan kemenangan Ekuador 2-0. Pertandingan kedua 12 Juni menampilkan tim Amerika Serikat berhadapan dengan Republik Ceko yang berkesudahan dengan kemenangan Ceko 3-0.

Laga Argentina melawan Serbia & Montenegro yang berakhir dengan 6-0 juga digelar di sini pada 16 Juni. Pertandingan keempat 21 Juni antara Portugal melawan Meksiko. Kota ini juga mendapatkan kehormatan untuk menyelenggarakan salah satu pertandingan perempatfinal Piala Dunia 2006.

Kelima pertandingan itu digelar di stadion AufSchalke Arena (FIFA World Cup Stadium Gelsenkirchen). Stadion yang dibangun dengan nilai investasi 191 juta euro (lebih dari dua triliun rupiah) itu merupakan stadion termodern.

Menyambut tetamu yang datang ke kota ini selama Piala Dunia 2006, pemerintah kota telah menyiapkan berbagai acara, antara lan pentas teater dan musik. Orang dapat menonton “Saira”, “Opera Bellini” yang pertama kali dipentaskan di luar Italia. Untuk kaum muda juga ada sajian Ballet Sschindowski, “Heavy Music” dan “Cool Love.“

Remaja penggila bola yang bosan menginap di hotel selama Piala Dunia, dapat berkemah di gelangang olahraga “Sportplatz der Offenen Tür” di samping Berger See. Tarifnya lumayan murah, hanya tiga sampai enam euro per hari.

Selain untuk remaja, juga terdapat dua perkemahan buat orang dewasa. Satu berada di Nordstenpark, taman bekas pameran tanaman nasional. Tempat itu dapat menampung 1.500 orang dengan tarif berkemah 19 euro per hari. Perkemahan kedua berada di Revierpark Nienhausen di dekat kota Essen.

Di kota dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 3,2 persen per tahun -- tertinggi di antara 12 kota penyelenggara pertandingan Piala Dunia 2006 -- anda bisa pula berkunjung ke Taman Patung Berger Feld dan menikmati koleksi seni kinetik di museum Buer. ***

BECAK LENGGAK-LENGGOK DI BERLIN



Oleh Irmanto

Berlin, 15/6/2006 - Dulu di Jakarta ada becak, kendaraan tanpa mesin dikayuh manusia itu berkeliaran di ibukota Negara Indonesia tersebut.

Dianggap mengganggu pemandangan dan bikin macet arus lalu lintas, pemerintah DKI Jakarta melarang becak lenggak-lenggok di jalan-jalan kota tersibuk di Indonesia itu.

Seiring dengan lenyapnya becak, kekhasan kendaraan kota Jakarta pun sirna, kini orang tidak tahu pasti, apa ciri khas kendaraan kota tersebut. Ada yang bilang bajaj, akh itu `produk India´.

Di Berlin, ibukota Jerman, terdapat becak roda tiga berkeliaran di kota berpenduduk 3,4 juta jiwa itu. Hanya saja becak Berlin yang disebut dengan „Bike Taxi“ itu sangat berbeda dengan becak Jakarta tempo dulu, atau becak yang kini banyak berkeliaraan di Tangerang.

Becak di Jakarta memiliki tiga roda, dengan dua roda di depan dan satu roda di belakang yang dilengkapi dengan pedal.

Di Berlin, bagian belakang justru beroda dua dan di depannya terdapat satu roda dilengklapi dengan pedal. Disain becak Berlin mirip helicak (kendaraan umum bermesin roda tiga yang pernah „hidup“ di Jakarta puluhan tahun lalu –red). Penumpang duduk di bagian belakang tukang becak tanpa ada sekat.

Becak Berlin berwarna-warni, ada yang berwarna hijau, kuning, dan merah. Tanpa takut ditangkap petugas tramtib mereka melintasi jalan-jalan utama kota tersebut.

Di jalan Friedrichstrasse dan jalan Unter den Linden, jalan utama di kota itu, mereka dengan bergembira mengayuh becak mengantarkan penumpang yang malas berjalan kaki di musim panas bulan Juni 2006.

Umumnya penumpang becak itu adalah wisatawan yang tengah menikmati keindahan kota Berlin, yang banyak menyimpan bangunan jaman kuno dikombinasi dengan gedung-gedung baru bergaya modern.

Tidak heran, kalau tidak ada penumpang, mereka suka mangkal di kawasan wisata seperti di Bradenburger Tor (pintu gerbang Bradenburg).

Bosan jalan kaki atau naik turun kereta, anda bisa mencoba becak Berlin. Hanya dengan mengeluarkan lima euro, anda bisa menikmati keindahan kota Berlin selama 10 menit. Kalau kurang puas, anda bisa mencarter hingga 30 menit, dengan catatan anda siap-siap merogoh saku lebih dalam 15 euro.

„Tidak mahal, kalau hanya sekadar ingin mencoba becak Berlin anda cukup berkeliling selama sepuluh menit. Ongkosnya cuma lima euro,“ kata Dierre Neumann, tukang becak yang tengah mangkal di kawasan Bradenburger Tor.

Pria kelahiran Berlin 21 tahun lalu itu mengatakan, banyak turis yang menaiki becaknya hanya sekadar untuk “mencicipi“ rasa naik becak. „Di negara mereka mungkin, kendaraan serupa ini tidak ada, sehingga mereka penasaran ingin mencobanya,“ kata lulusan SMA yang ingin melanjutkan kuliahnya ke universitas pada Oktober mendatang itu.

Kalau ingin buru-buru ke tempat tujuan, ia menyarankan agar naik bis atau kereta saja, karena ongkosnya lebih murah dan lebih cepat sampai tentunya. „Hanya dengan dua euro anda sudah sampai ke tempat tujuan. Becak saya ini hanya untuk mereka yang ingin menikmati suasana kota Berlin,“ katanya.

Ketika ditanya apakah warga Berlin suka naik becak, ia mengatakan untuk ke jalan-jalan yang tidak dilalui bis atau kereta, becak memang menjadi pilihan. „Tapi terus terang, orang sini lebih suka jalan kaki atau bawa sepeda,“ katanya.

Di Berlin bukan hal yang aneh, sepeda berkeliaran di jalan-jalan raya. Dan anda jangan terkejut pula kalau ada sepeda masuk ke dalam kereta.

Penghasilan tukang becak di sini cukup lumayan. Paling apes mereka bisa mengantongi minimal 50 euro per hari.

“Kalau hari libur seperti Sabtu dan Minggu, bisa mencapai 100 euro sehari,” kata Lukas Huth, rekan Dierre.

Pria berusia 32 tahun dan sudah memiliki satu anak itu mengatakan, rejeki paling berlimpah biasanya pada saat musim panas, sekitar bulan Juni hingga Juli.

“Seperti saat ini, banyak turis yang datang ke mari. Apalagi sekarang ada Piala Dunia, terus terang penghasilan saya bahkan bisa mencapai 120 euro,” kata pria yang tinggal di kawasan Berlin Timur itu.

Untuk wisatawan yang malas mencari-cari becak, mereka bisa menelepon langsung ke tukang becak, yang selalu membawa telepon genggam. “Kami siap ditelepon dan kami siap mengantar anda jalan-jalan di Berlin,” katanya.

Syair lagu „aku panggilkan becak, kereta tak berkuda, becak… becak…. Coba bawa saya“, barangkali lebih pantas dinyanyikan di Berlin ketimbang di Jakarta. ***

RESTO INDONESIA DI HAMBURG



Oleh Irmanto

Hamburg, 1/7/2006 - Tidak seperti di Berlin, ibukota Republik Jerman, di Hamburg sangat sulit menemukan restoran khusus yang menyajikan masakan Indonesia.

Hanya ada satu restoran Indonesia di kota berpenduduk 1,8 juta jiwa itu. “Sudah cuma satu, pakai nama Cina lagi,” kata seorang mahasiswa Indonesia di kota tersebut.

Restoran yang bernama Fong Hee itu boleh dibilang terletak agak ke pinggir kota Hamburg, tepatnya di jalan Bramfelder Dorfplatz..

“Sebelum di sini, saya buka restoran di pusat kota Hamburg. Setelah restoran di sana saya jual, saya pindah ke sini,” kata Suri Muhamad, pemilik restoran tersebut..

Lelaki kelahiran Madura itu pertama kali datang ke Jerman pada tahun 1960. “Pada mulanya saya ke sini untuk kuliah setelah tamat STM di Surabaya ,” katanya yang menikahi gadis Jerman, kemudian bercerai setelah punya anak pada tahun 1966.

Waktu di Hamburg kota, dia menggunakan nama Restoran Surabaya. Restoran yang didirkannya tahun 1975 itu bertahan hingga 1982 Wakti itu mantan presdien BJ Habibie, ketika masih kuliah di Hamburg, suka mampir ke restoran tersebut.

“Restoran Surabaya itu kemudian saya jual saya untuk biaya pengobatan saya. Waktu itu saya mengalami sakit kelelahan selama selama enam bulan,” katanya.

Pada 1982 dia mendirikan restoran yangdinamakan Foong Hee, yang artinya terus hidup dan berkembang.

Pada mulanya ada tiga, tapi sekarang hanya tinggal satu. “Ya, hanya tinggal satu di sini saja,” kata lelaki kelahiran 1931 itu dan menambahkan bahwa dua restoran lagi dia jual karena repot mengontrolnya..

Omsetnya setiap hari sekitar 500 euro dengan modal membeli bahan baku setiap sehari sekitar 200 euro.

Restoran yang luasnya 300 meter persegi dengan luas tanah 500 meter persegi ini dapat menampung sekitar 80 pengunjung.

Selain masakan Indonesia, dia juga menyajikan masakan China. “Di sini ada sekitar 250 jenis makanan. Mulai dari bakso, nasi goerng, gado-gado hingga….,” kata pria yang dua bulan lagi berumur 75 tahun itu.

Pelanggan restorannya selain orang Indoensia yang tinggal di Hamburg, termasuk karyawan di Konsulat Jenderal RI, jug orang- Jerman dan non-Jerman.

“Umumnya orang Jerman yang ke sini adalah orang yang senang rasa pedas,” ucapnya.
Ditanya berapa pelayannya, ia mengatakan hanya dua orang. “Saya sendiri dan istri saya,” katanya menikah lagi dengan orang Indoenesia asal Yogyakarta pada tahun 1979 dan menghasilkan dua anak.

Tidak ada kerepotan saat melayani tamu saat jam makan. “Kalau sudah pengalaman, sangat gampang melayani tamu. Kalau lagi ramai kita sungguhan dulu minuman, sup pembuka makan dan seterusnya sehingga mereka tidak merasa menunggu terlalu lama,” katanya.

Restoran itu didirikannya tahun 1991. “Modalnya sekitar 500.000 Mark waktu itu. Sebagian dari modal itu saya pinjam dari bank,” katanya yang mengakui setiap bulan kini mencicil 2200 euro.

Ia mengaku meninggalkan Indonesia dengan cara nekad. Dia sengaja kabur dari rumah dan bilangke ibunya waku itu akan pergi ke Australia, sebab kalau bilang ke Jerman atau Belanda dilarang oleh orangtuanya. Beberapa kakaknya sudah merantau ke negara Eropa pada waktu itu.

Dari Austarlia dia pergi ke Amerika Serikat dan kemudian hengkang ke Belanda. Di Belanda dia tingggal sementara bersama kakaknya.

“Tapi saya tidak mau lama-lama tinggal sama saudara. Saya tidak mau merepotkan mereka. Kemudian saya pundah ke sini ke Jerman,” katanya.

Tahun 1960, dia amencoba kuliah jurusan bahasa di salah satu universitas di Hamburg, tapi tidak sampai tamat. “Untuk bisa hidup murah waktu itu, saya sengaja kerja di rumah makan,” katanya.

Kerja di rumah makan, menurut dia, sangat menyenangkan, karena setiap hari makan gratis, dan setiap bulan dapat gaji. “Saya bisa menabung dari gaji saya itu,” katanya.

Pada tahun 1961 dia buka usaha bar, mengingat orang Jerman suka sekali minum. Tahun 1962 dia menikahi wanita Jerman. “Tahun 1966 saya cerai setelah dapat tiga anak. Ketiga anak itu menjadi tanggung jawab saya, “ ucapnya.

Pada tahun 1975 di amembuka restoran Surabaya. Ketika itu mantan pressiden BJ Habibie – ketika itu masih mahasiswa – suka makan di restorannya.

“Saya senang melihat Habibie, saya bilang kepada dia bahwa anda akan menjadi orang hebat,” katanya dan kelak terbukti.

Dia mengaku sering membantu beberapa orang dekatnya, orang sekampung. Mereka suka pinjam uang dengan alasan untuk modal usaha. “Tapi umumnya usaha mereka gagal, dan uang saya tidak dikembalikan Ha….haaa...,” katanya.

Akhirnya pola bantuan diubah. “Saya modali orang-orang di kampung saya untuk mengelola angkutan umum. Tapi juga tidak berhasil. Saya tidak tahu, bagaimana cara mereka megnelola usaha,” katanya.

Kini dia bersama saudara-saudaranya di Madura mendirkan supermarket sehingga mampu menampung banyak tenaga kerja. “Usaha ini berjalan baik, dan saya senang karena bisa mempekerjakan banyak orang,” katanya. ***

MENATO DI DARMSTADT

Oleh Irmanto

Frankfurt, 29/6/2006 - “Wah selama Piala Dunia ini penghasilan saya menurun, mereka membatalkan perjanjian untuk ditato,” kata Christianto Hendro, ahli tato di Darmstadt – sekitar 50 menit naik kereta bawah tanah dari Frankfurt – Kamis.

Konsumen, menurut satu-satunya orang Indonesia yang buka studio tato di kota kecil itu, lebih memilih menonton pertandingan Piala Dunia ketimbang memenuhi perjanjian untuk ditato.

Pria kelahiran Cologne 1964 – ayahnya (RP Hendro) waktu itu menjadi koresponden ANTARA untuk Jerman -- memahami keputusan konsumennya itu. “Saya maklum, karena Piala Dunia hanya ada empat tahun sekali,” ucap pria yang mengaku masa sekolahnya dihabiskan di Jakarta itu.

Waktu yang diperlukan untuk menato minimal empat jam untuk tato ukuran sedang (15 X 5 cm), sementara studio tatonya buka mulai pukul 13.00 hingga 20.00. Di lain pihak pertandingan pertama Piala Dunia dimulai pukul 15.00 untuk penyisihan grup dan pukul 17.00 untuk pertandingan 16 besar.

Untuk tato besar bisa lebih dari empat jam, bahkan pengerjaannya bisa tiga tahap,
tergantung seberapa besar dan seberapa rinci motifnya .

“Pengerjaannya bisa tiga tahap. Tahap pertama enam jam, kemudian dilanjutkan dua pekan kemudian, dan setelah itu diteruskan dua pekan kemudian,” kata lulusan jurusan Administrasi Niaga Universitas Atmajaya Jakarta tahun 1989 itu.

Motif yang diminta konsumen antara lain motif orientalis, motif polinesia, tribal, dan kontemporer. Motif orientaslis umumnya berasal dari Cina dan Jepang. Motif polinesia, misalnya, berasal dari motif Kalimantan (Indonesia ), dan motif tribal seperti motif dari Selandia Baru dan Maori.

“Sedang motif kontemporer adalah motif yang selalu berubah-ubah tergantung kecenderungan, tergantung orang lagi senang pada motif apa. Bisa jadi pada satu waktu tertentu orang senang motif tribal,” kata pria yang menikah dengan wanita Jerman pada 1995 itu.

Dari mana belajar menato, ayah satu putri itu mengatakan berawal dari waktu berumur 12 tahun. Pada waktu itu dia iseng-iseng menato tangannya. Kemudian pada waktu SMA, dia mulai menato tangan dan tubuh teman-temannya.

“Dan waktu kuliah dulu, saya sudah mulai dibayar kalau menato,” kata pria yang mengaku otodidak dalam soal menato.

Ketika hengkang ke Darmstadt tahun 1995, di rumah ia menerima order menato. Ia menato di ruang tamu atau di dapur. Hasil tatoannya menjadi pembicaraan di kota kecil itu, banyak orang yang datang kepadanya minta ditato.

Pada 1997 dia diajak oleh dua ahli tato di kota berpenduduk 140.000 itu untuk bergabung dengan mereka membuka studito. “Kami satu studio, tapi penghasilan masing-masing. Kalau saya dapat order, uangnya untuk saya. Tiap bulan kami patungan bayar uang sewa ruangan. Studio kami berukuran 70 meter persegi,” katanya.

Sejak enam tahun lalu dia buka studio tato sendiri. Pada mulanya studio tatonya terletak di tengah kota.

“Tapi akhirnya saya pindah ke sini, agak ke pinggir kota. Di sini saya lebih tenang. Kalau di tengah kota saya terganggu oleh lalu lintas kendaraan dan orang-orang yang lalu lalang di depan studio,” katanya yang mengaku pernah mendapatkan penghargaan sebagai penato berkualitas tingkat Eropa..

Terletak di jalan Grafenhauserstrasse, studio berukuran 110 meter persegi itu tiap hari didatangi satu hingga tiga konsumen, yang umumnya sudah membuat janji lebih dari satu bulan sebelumnya.

“Tapi selama Piala Dunia ini, saya kehilangan konsumen. Satu hari satu orang saja sudah bagus,” katanya, yang menyebutkan sewa ruangan untuk studio tato itu 900 euro per bulan.

Tarif menato tergantung pada besarnya motif gambar atau tulisan yang akan ditato. Untuik ukuran sedang dengan motif yang tidak rumit, ia mengenakan tarif 300 euro.

“Kalau ukurannya besar dengan motif sangat rinci dan penuh warna bisa mencapai 4.000 euro. Tapi pesanan seperti itu tidak sering,” katanya dan manambahkan bahwa pengerjaannya bisa mencapai tiga tahap, yang setiap tahapan memerlukan waktu enam hingga delapan jam.

Konsumennya mulai dari remaja berusia di atas 18 tahun hingga kaum eksekutif muda. “Tapi kebanyakan yang datang ke saya para musisi, terutama penyanyi dan musisi rock,” katanya. Musisi rock itu tidak hanya mereka yang tinggal di Jerman, tapi ada pula dari luar Jerman seperti Amerika Serikat yang kebetualan sedang pentas di negara yang kini menyelenggarakan Piala Dunia itu.

Ketika ditanya apakah akan terus di Jerman dengan studio tato “Gordon Blue”-nya, pria yang juga taekwondoin itu mengatakan dia tidak akan terus bercokol di negara Eropa itu.

“Satu saat saya akan pulang ke Jakarta dan membuka studio tato di sana. Tapi kapan waktunya, saya belum bisa memastikan,” katanya dan menambahkan bahwa anak muda Jerman kini lagi “doyan” ditato, termasuk olahragawannya. ***

4,9 EURO SAMPAI TELER NAIK-TURUN KERETA DI FRANKFURT



Oleh Irmanto

Frankfurt, 28/6/2006 - Cukup dengan merogoh 4,9 euro, anda bisa seharian naik turun kereta bawah tanah dan bus di Frankfurt, salah satu kota penyelenggara pertandingan Piala Dunia 2006 di Jerman.

Anda tinggal menekan tombol kolom “tageskarte” dan kemudian memasukkan uang logam sebanyak 4,9 euro ke dalam mesin karcis, maka karcis akan keluar. Bagaimana bila tidak punya uang logam? Tidak usah panik, tinggal masukkan uang kertas lima euro, maka karcis akan keluar berikut dengan kembaliannya.

Kalau anda bersama teman ingin berjalan-jalan sendirian di kota berpenduduk 650 ribu itu selama seharian, anda cukup mengeluarkan uang dari dompet sebanyak delapan euro.
Caranya, anda harus memencet tombol bertuliskan “gruppentageskarte” dan masukkan uang sebanyak harga karcis itu, Karcis itu berlaku paling banyak untuk lima orang. Lebih murah ‘kan?.

Karcis itu hanya berlaku untuk naik kereta dan naik bis di dalam kota Frankfurt saja. Kalau anda mau pergi ke Munich, maka karcis itu tidak berlaku. Anda harus beli karcis kereta antar kota ICE (intercity express) atau IC (intercity), yang harganya tergantung jarak tempuh.

Bagaiman kalau hanya ingin sekali jalan saja? Boleh saja, anda tinggal memencet tombol bertuliskan “einzelfahrschein ermassight” dan memasukkan uang sejumlah 1,9 euro.
Naik kereta atau bis dalam kota baik itu Frankfurt maupun kota lainnya di Jerman, anda tidak perlu berpikiran bahwa akan anda petugas yang akan memeriksa tiket, seperti di kereta Jabotabek.

“Anda tidak akan melihat petugas berseragam memeriksa tiket,” kata Suli, warga Indonesia yang tinggal di Frankfurt.
Kendati begitu, bukan berarti bebas untuk tidak membeli tiket. Kalau ada razia dan ternyata anda tidak memiliki karcis maka siap-siaplah untuk malu dan didenda 40 euro.

“Lho, saya tadi tidak beli karcis, tidak ada yang periksa. Saya naik saja dan tidak ditagih,” kata wartawan senior Indonesia yang bekerja untuk salah satu koran di Jakarta, ketika diberitahu harus membeli karcis sebelum naik kereta.

Menunggu kereta di Frankfurt boleh dibilang tidak memerlukan rasa kesal. Kedatangan kereta sudah pasi. Kedatangan kereta tertera di papan pengumuman di emplasemen. Semua kereta datang tepat waktu. Keberangkatan kereta pun tepat waktu. Kereta tidak pernah menunggu anda, sekalipun anda pejabat tertinggi di kota tersebut.

Bersih, nyaman, dan aman. Itulah kesan ketika berada di dalam kereta di kota bisnis dan keuangan terbesar di Jerman itu. Tidak ada pengamen dan pedagang asongan -- seperti setiap hari terlihat di kereta Jabotabek -- berseliweran di dalam kereta.

Pengamen dilarang melakukan aktivitas kesenian di dalam transportasi umum. Mereka diberi wadah di tempat-tempat publik seperti di stasiun bawah tanah dan di kaki lima.

Di dalam kereta ini pun boleh dibilang tidak ada pencopet, sehingga anda tidak perlu khawatir dan was-was dompet di kantong celana anda dirogoh atau tas anda disilet orang.

“Hukuman bagi pencopet di sini sangat berat,” kata Ahyahudin Sodri, warga Indonesia yang sudah tujuh tahun menetap di negeri Michel Ballack itu.

Menurut dia, pencopet yang tertangkap basah risikonya sangat berat. Dia akan kehilangan hak-hak sosial. “Namanya akan terhapus dari data base orang-orang yang diberikan santunan,” kata ahli di bidang teknologi digital roungent itu.

Mengingat sanksi sosialnya sangat berat, maka orang akan berpikir ribuan kali untuk melakukan kejahatan. “Di sini tidak ada orang yang terlantar, orang yang tidak punya pekerjaan mendapatkan santunan dari negara,” kata pria berusia 35 tahun yang masih membujang itu.

Orang-orang yang sudah tercoret dari daftar penerima santunan, bisa dilihat di jalan-jalan. Mereka luntang-lantung di stasiun kereta dan tempat-tempat publik lainnya.

“Mereka itu lah yang di masa lalu melakukan tindakan kriminal,” ucapnya. Mereka disingkirkan oleh negara, masyarakat dan juga keluarganya karena telah mencoreng nama baik keluarga.

Tidak heran bila hingga tengah malam pun masih banyak orang, termasuk wanita, berada dalam kereta menuju tujuan masaing-masing dengan wajah tanpa diliputi rasa khawatir.
Yang terlihat di dalam kereta adalah orang-orang yang sibuk dengan kesendirian. Ada yang sibuk dengan membaca koran, ada yang sibuk membaca buku, ada yang asyik mendengarkan lagu dengan earphone di telinga, ada yang asyik memegangi sepeda, dan ada yang asyik dengan anjingnya. ***

KONIGSTEIN "KOTA BRAZIL" DI JERMAN




Oleh Irmanto

Frankfurt, 9/6/2006 – Suasana Jerman hampir tidak terasa ketika memasuki kota Konigstein, yang berjarak waktu tempuh berkendaraan sekitar 30 menit dari pusat kota Frankfurt.
Deretan umbul-umbul bertuliskan “Konigstein Sauda Brazil (Konigstein Selamat Datang Brazil) terpancang di sepanjang tepi jalan memasuki kota tersebut.

Hampir semua rumah , pertokoan dan perkantoran di kota itu dihiasi bendera Brazil. Bahkan setiap toko menjual dan menampilkan cindera mata berbau Brazil, mulai dari topi, baju kaos, selendang, bendera hingga bola. Begitu pula dengan kafe dan restoran. Mereka menjual makanan dan minuman khas negeri Samba itu.

Anak-anak hingga orang dewasa yang berlalu lalang di kota yang banyak dihiasi bangunan tua itu mengenakan atribut Brazil. Untuk lebih meyakinkan bahwa mereka yang datang ke sana benar-benar merasakan suasana Brazil, di sebuah lapangan seluas lapangan basket didirikan panggung kecil, yang dikelilingi oleh kafe-kafe tenda yang menjual minuman dan makanan.

Para pelayan di kafe itu adalah gadis-gadis cantik dan seksi dan jejaka asli Brazil yang datang khusus dari negara di benua Amerika itu.
“Hampir setiap malam diselenggarakan pesta Samba di sini. Siapa saja boleh ke mari untuk menyanyi dan menari Samba,” kata Ana Paula Malut D Guimraes, voluntir yang datang khusus dari Sao Paolo.

Suasana Brazil itu memang sengaja dibuat karena tim nasional Brazil menginap di kota itu, tepatnya di hotel Kempinski. Tim juara dunia lima kali itu menjadi salah satu tim favorit menjuarai Piala Dunia 2006 yang digelar 9 Juni hingga 9 Juli.

Diperlukan pendekatan khusus dan biaya besar untuk bisa menarik tim yang ditaburi pemain mahal itu menginap di kawasan tersebut. Maklumlah hamper semua kota di Jerman berebut agar kotanya menjadi tempat menginap Ronaldinho dan kawan-kawan.

Setiap hari sejak tim Brazil menginap di kawasan itu pada awal Juni, banyak masyarakat dari luar kota Konigstein berdatangan ke kota asri tersebut. Mereka ingin melihat pemain pujaan mereka.

Ronaldinho, Ronaldo, dan Kaka menjadi incaran penggemar bola, yang selama ini hanya bisa mereka saksikan di layar televiisi dan koran dan majalah.
Keinginan untuk melihat pemain pujaan mereka memang tidak gampang, karena pemain Brazil dijaga sangat ketat. Bahkan wartawan pun tidak bisa mendekati mereka.

“Wartawan memang tidak bisa mendekati pemain Brazil. Mereka tidak ingin diganggu, mereka sengaja diisolasi, ” kata Flavio de Queiros Amancio, voluntir yang bertugas di pusat informasi Brazil di Konigstein.

Kendati tidak bisa melihat dan mengajak bicara pemain Brazil itu, warga kota Konigstein dan mreka yang datang dari luar kota tersebut tampak tidak kecewa. Mereka mau berlam-lama duduk-duduk di kafe atau restoran yang dirancang bearoma Brazil.

“Kendati tidak bisa melihat langsung para pemain pujaan mereka, ya paling tidak mereka merasakan suasana Brazil di sini,” kata pemuda yang langsung datang dari Sao Paolo itu khusus untuk menjadi voluntir yang ditugaskan oleh kamar dagang dan industri Brazil..

Selain tempat menginap tim dan ofisial Brazil, Konigstein juga menjadi tempat menginap para pendukung Brazil. “Ya tentu saja mereka yang menginap itu orang-orang kaya Brazil,” kata Ana Paula Malut D Guimraes (21), mahasiswa Sao Paolo, yang bertugas sebagai voluntir di pusat informasi Brazil, yang sengaja diadakan untuk menyambut dan selama Piala Dunia 2006 berlangsung.

Kota berpenduduk sekitar 18.000 orang itu terkenal sebagai kota peristirahatan dan rekrreasi, tempat hiking yang dipenuhi dengan rute sepeda. Kota ini beriklim sejuk rendah polusi dengan landscape bercirikan Arkadian.

“Hanya orang kaya yang bisa tinggal di sini. Kota ini merupakan kawasan mahal. Harga tanah di sini tinggi sekali,” kata konsuler Indonesia di Konsulat Jenderal RI di Frankfurt, Isman Pasha, tanpa merinci berapa harga tanah dan rumah di kawasan tersebut.

Kota ini, seperti juga jaman dahulu, hanya ditempati keluarga kaya. Mereka yang beduit itu senang tinggal di kota yang hanya memiliki delapan sekolah, manajemen dan infrastruktur lalu lintas dan transportasi yang bagus, serta sedikit area industri.

Di kota ini banyak bangunan tua. Misalnya di jalan Hauptstrase 21. Di jalan ini terdapat sanatorium dan gedung tua. Pada tahun 1860 keluarga Borgnis, banker asal Frankfurt, memiliki vila bergaya Swiss. Pada 1927 vila itu dijadikan sebagai sanatorium. Kini bangunan vila itu dijadikan restoran dan kantor pemerintahan.

Hotel Kempinski tempat tim nasional Brazil menginap itu berada di kompleks bangunan tua tempat peristirahatan, yang didirikan keluarga kerajaan Wilhelm II pada tahun 1909. Setelah Perang Dunia I, gedung itu dijadikan barak untuk tentara Perancis. Dari 1960 hingga 1964 dibangun klinik sanatorium milik negara. Hotel Kempinski yang mwah itu sendiri dibuka pada tahun 1999.

Selain banyak vila, di kota ini terdapat benteng Falkenstein. Benteng itu terletak di atas bukit Grober Feldberg. Benteng ini merupakan salah satu objek wisata. Untuk bisa memasuki benteng yang setiap hari dibuka untuk umum hingga pukul 19.00 itu pengunjung dikenakan tarif masuk sebesar lima euro. Dari atas benteng yang dibangun abad ke-12 itu orang bisa melihat keseluruhan kota Konigstein yang asri dan tenang.

Keasrian dan ketenangan itu lah yang dicari tim Brazil agar mereka selalu tampil segar dan sehat. “Kesegaran para pemain memang sangat diutamakan di tim Brazil,” kata
Flavio, yang dia yakin bahwa tim negeri Samba itu mampu merebut gelar juara dunia untuk keenam kali. ***

"PUISI BOLA" DI POSTDAMER PLATZ


Oleh Irmanto

Berlin, 8/7/2006 - Kalau 20 tahun lalu anda pernah ke Berlin, dan kini kembali lagi ke kota yang sekarang menjadi Ibukota Jerman itu, mungkin anda tidak percaya di Postdamer Platz telah berdiri gedung perkantoran dan pusat bisnis modern.

“Daerah ini dulunya merupakan tanah kosong. Tanah ini berada di tengah-tengah antara Jerman Barat dan Jerman Timur,” kata Rio Budi Rahmanto, konsuler bidang penerangan di Kedutaan Besar RI di Berlin, Jumat (7/7/2006) malam, saat memasuki kawasan tersebut.

Udara malam yang dingin perlahan menyusupi pori-pori kulit saat melangkahkan kaki ke dalam kawasan yang arsitekturnya benar-benar asli abad 21 itu, kontras dengan daerah Brudenburg Tor, yang masih banyak terdapat bangunan kuno abad 17 dan 18.

Setelah Tembok Berlin dirubuhkan pada November 1989 dan tahun berikutnya terjadi penyatuan Jerman, sebuh perusahaan elektronik Jepang Sony “nekad” mendirikan gedung Sony Center di kawasan itu.

Di atas gedung itu terdapat semacam “kubah” kaca mirip gunung Fujiyama. Bila malam, warna lampu kubah itu berubah-ubah antara lain biru dan ungu. Di lantai dasar gedung perkantoran -- sekitar tujuh gedung -- yang diwadahi kubah itu terdapat kafe dan restoran.

Sejumlah meja dan kursi tertata rapi siap menyambut mereka yang ingin melepaskan ketegangan setelah seharian bekerja atau hanya sekadar untuk berleha-leha menunggu kantuk tiba.

Selain meja dan kursi, di kawasan yang mengesankan Berlin sebagai kota modern itu juga terdapat semacam panggung dan tirbun terbuka berkapasitas sekitar 500 tempat duduk.

Di atas panggung itu tergantung bola besar yang diapit empat televisi berlayar lebar. “Selama Piala Dunia ini, tempat ini dijadikan salah satu studio terbuka oleh televisi ZDF,” kata Rio.
Pantas, di dinding kaca dan di atas tribun terbuka tertera tulisan “Das Runde Muss In Das Eckige! (Bola harus masuk ke gawang!).

Stasiun televisi ZDF -- yang acaranya diperuntukkan bagi mereka yang tidak berlangganan televisi kabel -- pada saat pertandingan Piala Dunia 2006 menjadikan panggung itu sebagai studio untuk memberikan komentar menjelang hingga sesudah pertandingan.

Di panggung itu mereka mengulas kekuatan dan kelemahan tim yang tengah bertanding. Panelisnya terdiri atas pengamat sepakbola, artis, hingga orang biasa.

Kawasan ini juga sekaligus dijadikan ajang nonton bareng bersama dalam jumlah terbatas. Untuk bisa duduk di tribun terbuka itu tidak dipungut bayaran, tapi orang harus bersicepat datang kalau tidak mau hanya cukup puas dengan berdiri-diri saja.

Mereka yang datang lebih awal akan mendapatkan termpat di tribun terbuka itu, atau paling tidak di kursi-kursi yang disediakan oleh pemilik kafe dan restoran itu, dengan risiko minimal pesan minuman -- kecuali kalau tidak punya malu.

Sejumlah kafe seperti Le Camptair, Josty, Brauhaus, dan Lindern Brau memang meletakkan kursi dan meja di depan kafe mereka.
Tapi tidak setiap pertandingan, tempat ini dijadikan studio terbuka oleh ZDF, karena mereka juga menggunakan panggung di tribun terbuka di Brudenburg Tor sebagai studio terbuka untuk “mencaci maki” pertandingan.

Kalau tidak ada pertandingan Piala Dunia bukan berarti kawasan Sony Center itu sepi. Setiap hari ratusan eksekutif muda dan diplomat muda menghabiskan malamnya di sini.

Jumat malam itu sejumlah pria berbusana jas dan sejumlah wanita menggunakan blazer tampak menikmati makanan dan minuman. Harga makanan dan minuman tidak begitu mahal menurut ukuran orang Berlin.

Kalau anda hanya minum kopi cappuccino bersama dua teman, anda hanya cukup merogoh uang kertas 10 euro, dan pelayannya akan mengembalikan dua setengah euro kepada anda.
Pada waktu-waktu tertentu di kawasan Postdamer Platz -- yang orang masih bisa melihat sisa-sisa Tembok Berlin (selebar satu meter yang sengaja dijadikan monumen) – itu diadakan pergelaran musik dan seni.

Sejumlah penyair terkenal pernah membaca puisi di tempat yang dikelilingi gedung perkantoran itu. Mereka antara lain Derek Walcott, Adonis, Friederike Mayrocker, dan juga penyair Indonesia Rendra dan Dorothea Rosa Herliany.

Festival puisi yang mendapatkan dukungan dana dari Daimler-Chrysler (produsen Mercedez-Benz) itu hanya mengundang sepuluh penyair dari 10 negara. Gilanya, sudah datang jauh-jauh, mereka hanya dipersilakan membaca puisi selama 15 menit.

Kegiatan kesenian itu pula yang melengkapi julukan kawasan itu sebagai tempat bisnis sekaligus ajang festival puisi tahunan.

Malam itu dan malam-malam selama Piala Dunia 2006 memang tidak ada pembacaan puisi di kawasan itu, tapi orang menikmati “puisi bola” yang bergulir di televisi berlayar lebar itu. ***